Minggu, 20 Januari 2013

Sejarah Telekomunikasi di Indonesia



Sejarah Telekomunikasi di Indonesia




Sejarah telekomunikasi di Indonesia bermula saat telegraf diperkenalkan tanggal 23 Oktober 1855 oleh pemerintah Hindia Belanda, yaitu berupa telegraf elektro magnit yang menghubungkan Batavia (Jakarta) dan Buitenzorg (Bogor). Dua tahun kemudian dibuka saluran Jakarta-Surabaya dengan cabang Semarang-Ambarawa. Sejak itu jasa telegraf dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Dua tahun kemudian panjang saluran telegrap berkembang terus sehingga mencapai 2.700 kilometer, dilayani oleh 28 kantor telegrap. Di sepanjang rel kereta api didirikan tiang-tiang telegraf. Sementara itu kabel laut telah terpasang antara Jakarta dan Singapura, selanjumya dari Jawa (Banyuwangi) ke Australia (Darwin).

Keberadaan telekomunikasi sangat berperan di Indonesia. Hal ini bisa direfleksikan ketika mengumumkan kemerdekaan Indonesia. Berbagai media komunikasi digunakan untuk menyebarkan kabar kemerdekaan mulai dari surat, telegram, berita di koran / buletin hingga telepon, dan yang terpenting adalah siaran lewat RRI.
Telekomunikasi menjadi bagian penting dalam sejarah Indonesia. Mulai dari zaman revolusi hingga kemerdekaan kemudian berkembang dizaman orde lama dan mengalami kemajuan pesat di zaman orde baru yang ditandai dengan peluncuran satelit Palapa 1 tahun 1976. Saat itu sempat terjadi pro-kontra tapi pada akhirnya harus diakui satelit Palapa banyak memberikan manfaat.
Hubungan telepon lokal digunakan pertama kali pada tanggal 16 Oktober 1882 dan diselenggarakan oleh perusahaan swasta. Jaringan telepon tersebut membentang antara Gambir dan Tanjung Priok di Batavia, disusul dua tahun kemudian hubungan telepon di Semarang dan Surabaya. Perusahaan swasta itu mendapat izin konsesi selama dua puluh lima tahun. Tampaknya pengusahaan alat komunikasi hasil penemuan Alexander Graham Bell pada tahun 1876 itu cepat berkembang sehingga dalam tahun 1905 jumlah perusahaan telepon di Hindia Belanda menjadi 38.
Khusus untuk hubungan telepon interlokal, perusahaan Intercommunaal Telefoon Maatschappij memperoleh konsesi selama dua puluh lima tahun untuk hubungan Batavia-Semarang, selanjutnya Batavia-Surabaya, disusul Batavia-Bogor dan kemudian Bandung-Sukabumi. Dalam pengembangan jaringan telepon ternyata perusahaan-perusahaan telepon itu hanya membuka hubungan telepon di kota-kota besar yang mendatangkan untung saja sehingga penyebaran jaringan telepon tidak merata. Akhirnya dalam tahun 1906 setelah jangka waktu konsesi berakhir, semua pengusahaan jaringan telepon diambil alih dan dikelola oleh Pemerintah Hindia Belanda melalui pembentukan Post, Telegraaf en Telefoon Dienst, kecuali jaringan telepon Perusahaan Kereta Api Deli (Deli Spoor Maatschappij, DSM). Sejak saat itulah pelayanan jasa telekomunikasi dikelola oleh pemerintah secara monopoli.
Jaringan telepon itu semula menggunakan sistem baterai lokal dan kawat tunggal yang terpasang di atas permukaan tanah sehingga sering mengalami gangguan. Pembaharuan dan modernisasi kemudian dilaksanakan, pemasangan kabel jarak jauh diterapkan di bawah permukaan tanah, kawat tunggal diganti dengan kawat sepasang dan menggunakan sistem baterai sentral. Pengembangan telekomunikasi di masa itu tentu saja memerlukan pegawai-pegawai yang berpendidikan, baik dari pihak pribumi maupun dari Belanda. Itulah sebabnya Dinas PTT menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan. misalnya kursus mengetok kawat morse di Jakarta dan kursus asisien di Surabaya. Pendidikan yang lebih tinggi lagi diadakan di Belanda. Banyak pribumi yang menjadi pegawai PTT walaupun gaji bagi pribumi, lebih rendah ketimbang pegawai Belanda. Memperoleh sebutan sebagai Den Ajung (adjunct inspector) atau Den Komis (commies) sangatlah membanggakan bagi pribumi karena gaji pegawai PTT lebih tinggi daripada pegawai dinas lain, meskipun gaji asisten pribumi dibandingkan dengan asisten Belanda jauh ketinggalan.
Menurut penuturan R. Samdjoen yang mulai memasuki dinas PTT tahun 1929 dan pernah menjadi Direktur Jenderal PTT, teknisi telekomunikasi didatangkan dari Belanda dan hanya terdapat seorang teknisi radio pribumi. yaitu Soedirdjo yang ikut membangun stasiun radio penerima Malabar tahun 1920, stasiun radio tertua di Indonesia dan terbesar di belahan bumi selatan. Prioritas pemakaian jasa telepon waktu itu diberikan kepada pejabai-pejabat pemerintah dan pengusaha. Para bupati dan wedana di Pulau Jawa memiliki pesawat telepon. pembiayaannya ditanggung pemerintah. Adapun pesawat telepon yang digunakan ialah jenis telepon baterai lokal, jarak jangkauannya terbatas. Berbicara dengan telepon engkol tersebut harus keras, bahkan boleh dikata harus beneriak. Bukan aneh kalau ada pelanggan yang memaki-maki operator. Ada juga operator yang didatangi pelanggan dan “dihajar” karena pelanggan itu merasa disepelekan. Hal itu disebabkan penyambungan telepon ditangani secara manual sehingga tidak dapat dilayani secara cepat.
Seiring dengan bangkitnya gerakan nasional dan melihat sistem penggajian yang tidak adil, lahirlah berbagai perhimpunan buruh di lingkungan PTT seperti Postbond, Midpost/Inspecteurs Bond dan Perkumpulan Pegawai PTT Rendahan (PTTR). Adapun Midpost dan PTTR memiliki warna nasionalisme yang tegas. Perkumpulan-perkumpulan ini didirikan karena kenyataan meskipun jumlah pegawai pribumi merupakan bagian terbesar dari pegawai PTT tetapi dianaktirikan oleh pimpinan. Di antara para pemimpin gerakan nasional yang mendorong pembentukan Midpost adalah R.P. Soeroso, anggota Volksraad. Setelah Pemerintah Hindia Belanda gulung tikar akibat serbuan balatentara Jepang di tahun 1942, Dinas PTT dibagi sesuai dengan daerah kekuasaan milker Jepang. Daerah Jawa dan Madura di bawah komando Angkatan Darat Jepang ke-16, daerah Sumatera di bawah komando Angkatan Darat Jepang ke-25 dan kepulauan Indonesia Timur di bawah komando Armada ke-3 Angkatan Laut Jepang.
Jawatan PTT alias Tsusinkyoku diberi tugas utama membantu kelancaran “Perang Asia Timur Raya” ala Jepang dan menjaga keamanan pemerintahan militer. Stasiun radio pemancar Dayeuhkolot yang terletak tujuh kilometer sebelah selatan Bandung dikelola oleh perusahaan telekomunikasi swasta Jepang Kokusai Denki Tsusinkyoku yang berpusat di Jepang. Stasiun radio ini waktu itu merupakan stasiun radio terbesar di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Selama pendudukan Jepang hubungan ke luar negeri oleh stasiun radio Dayeuhkolot hanya terpancar ke Jepang dan Jerman. Baik stasiun radio pemancar di Dayeuhkolot dan stasiun radio penerima di Rancaekek di sebelah timur Bandung dipimpin oleh orang-orang Jepang, begitu pula kantor telegrap di Bandung. Berhubung beberapa pemancar digunakan khusus untuk keperluan militer, setiap pegawai Indonesia diawasi secara ketat. Sekalipun demikian, kedatangan Jepang di lingkungan PTT ini dapat dipandang menguntungkan juga. Orang-orang Belanda yang dulu menduduki kursi-kursi pimpinan telah tergusur. Banyak kursi pimpinan ditempati oleh pegawai Indonesia sehingga mcrcka memperoleh pengalaman untuk memimpin. Jawatan PTT di Sumatera semula dipusatkan di Shonanto (Singapura) karena Sumatera dan Semenanjung Malaya oleh Pemerintah Jepang dijadikan satu daerah komando.
Keadaan telekomunikasi kita di Jawa pada zaman pendudukan Jepang buruk sekali. Tenaga pimpinan dan teknisi Belanda dan Indo ditahan oleh Jepang sehingga PTT kekurangan tenaga. R. Samdjoen, ketika itu bekerja pada bagian laboratorium dan merasakan betapa kurangnya tenaga yang cakap, memberanikan diri mendidik pemuda-pemuda Indonesia menjadi teknisi telekomunikasi. Permintaan itu berhasil. Perbedaan fungsi utama Dinas PTT pada zaman Belanda dan Jepang memang ada. Dinas PTT Hindia Belanda tidak bertujuan komersial semata, juga diperuntukkan bagi pelayanan masyarakat, sedangkan pada zaman Jepang Jawatan PTT lebih digunakan untuk mendukung “Perang Asia Timur Raya.” Banyak pemancar, peralatan dan perlengkapan telekomunikasi diangkut ke medan perang. Namun ada juga untungnya karena angkatan laut Jepang memperkenalkan penggunaan radar kepada para teknisi Indonesia.
Di daerah lain, khususnya di Sumatera perkembangan telekomunikasi pada masa itu cukup bagus. Jaringan telegrap morse menghubungkan seluruh kota, bahkan dari Bukittinggi dapat dihubungi Bandung, Singapura dan Tokyo. Unit-unit telekomunikasi milik PTT terdiri dari terminal telegrap di Birugo dan stasiun penerima di Tarok, keduanya di Sumatera Barat. Pemancar radio di Bukitcangang – di daerah Bukittinggi – berada di bawah permukaan tanah dan pesawat carrier ditempatkan dalam sebuah bungker di Atas Ngarai, Bukittinggi. Hal ini dapat disimpulkan bahwa Jepang sudah memperkirakan kemungkinan terjadinya serangan udara Sekutu karena Bukittinggi menjadi pusat pemerintahan. Mereka pun menduga bahwa pemancar-pemancar radio akan menjadi serangan pemboman. Itulah sebabnya Jepang menyiapkan pemancar-pemancar cadangan dengan penempatan yang terpencar.
Pada stasiun-stasiun pemancar dan pusat-pusat telekomunikasi penting di Garegeh dan Tarok terdapat tenaga-tenaga terdidik yang didatangkan dari Bandung. Pemuda-pemuda Indonesia yang bekerja pada pusat-pusat telekomunikasi tersebut ternyata dapat pula menyumbangkan sesuatu bagi gerakan di bawah tanah. Pesawat radio di mana-mana disegel oleh Pemerintah Jepang agar bangsa Indonesia “tuli” terhadap kekalahan demi kekalahan pasukan Jepang. Namun demikian pemuda-pemuda kita itu dapat mendengarkan siaran radio luar negeri dengan menggunakan head-set agar suaranya tidak terdengar keluar. Tentu penyadapan berita semacam itu dianggap oleh Jepang sebagai pelanggaran berat. Seorang pegawai suku Ambon ketahuan mendengarkan siaran radio luar negeri. Militer Jepang menangkapnya, menuduhnya sebagai mata-mata musuh dan selanjutnya hilang tak tentu rimbanya.
Memudarnya kekuasaan Belanda yang telah bercokol selama tiga setengah abad di Indonesia dan makin merosotnya kekuatan balatentara Jepang di segenap garis pertempuran kawasan Asia dan Pasifik, semakin menebalkan keyakinan para pegawai Indonesia dalam tubuh PTT bahwa suatu saat pasti bangsa Indonesia akan mencapai kemerdekaan. Guna menyongsong saat bersejarah itu diperlukan persiapan, baik untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan maupun mempersiapkan segala macam pekerjaan dan pimpinan jawatan. Kegiatan persiapan itu – tentu saja tidak dapat dilakukan secara terbuka dan bebas – terutama di kalangan pegawai yang berkedudukan cukup tinggi dan para siswa sekolah PTT dan Controleurs Cursus dan Bedrijfsambtenaar Cursus di Jalan Banda, Bandung. Dalam pertemuan ramah-tamah, mereka seakan-akan tidak memikirkan gentingnya perang yang memperebutkan daerah subur Indonesia, terseliplah bisik-bisik tentang kemungkinan munculnya kesempatan memerdekakan bangsa. Salah seorang siswa bernama Soetoko yang menonjol peranannya dalam mempersatukan gagasan patriotik, pada awal tahun 1942 telah menemui Mas Soeharto yang waktu itu menjabat Kepala Biro berpangkat Controleur I. la adalah satu-satunya pegawai Indonesia yang paling tinggi pangkatnya di lingkungan PTT. Dibicarakanlah oleh keduanya kemungkinan pengambilalihan pimpinan PTT bila sewaktu-waktu Pemerintah Hindia Belanda jatuh. Tidak ada perbedaan pendapat antara Soetoko yang muda dan penuh keberanian dengan Mas Soeharto yang mengetahui seluk beluk Jawatan PTT Kalaupun ada perbedaan, hanyalah mengenai pelaksanaannya.
Gagasan Soetoko memang mewakili cita-cita dan watak kaum muda yang bersemangat, berani tapi mungkin juga kurang matang dalam pertimbangan. Mas Soeharto mewakili pendapat, bahwa pengambilalihan Kantor Pusat PTT tanpa disertai gerakan dan tindakan yang sejalan di kota-kota lain seluruh Indonesia, mungkin akan sia-sia dan dapat merugikan gerakan nasional. Melalui pembicaraan yang matang, gagasan para pemuda yang diwakili oleh Soetoko dapat dilunakkan. Gagasan itu urung karena penyerbuan Jepang ke Hindia Belanda hanya berlangsung sebentar dan Belanda cepat takluk. Jepang pun segera menguasai keadaan dan menyusun pemerintahan. Namun cita-cita para pemuda yang tumbuh sejak goyahnya kekuasaan Hindia Belanda, terus berkembang dalam penjajahan Jepang. Propaganda manis Jepang yang menjanjikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia “di kelak kemudian hari” tidak mempan lagi karena ternyata pemerasan dan penindasan yang dilakukannya sangat kejam. Di mana-mana terjadi kelaparan karena beras Indonesia diangkut Jepang untuk memberi makan serdadu-serdadunya yang tersebar di kawasan Asia dan kepulauan Pasifik.
Dari segala pemaksaan dan penindasan itu muncul pula kesempatan yang amat berguna bagi penggemblengan semangat kemiliteran dan patriotisme. Konon dalam menghadapi serbuan Sekutu, Jepang mengadakan latihan keprajuritan bagi pemuda Indonesia. Di Kantor Pusat PTT setiap pagi diadakan latihan taisho (gerak badan), dilanjutkan dengan latihan baris-berbaris dan kemiliteran serta perang-perangan. Sebuah pasukan Seinendan (organisasi pemuda bentukan Jepang) diresmikan dan dikepalai oleh Abdoel Djabar. Sementara itu Soetoko mcmimpin seluruh barisan Seinendan PTT yang meliputi sekolah PTT, Radio, Laboratorium, Kantor Pos Besar dan Kantor Telepon. Kemudian dibentuk badan yang bernama Tsusintai atau Barisan Pusat PTT, dan dibentuk pula Tsusin Tokubetsutai (Pasukan Istimewa atau Barisan Pelopor PTT). Kader-kader bangsa ini mulai merintis jaringan komunikasi dalam gerakan bawah tanah dengan kota-kota lain. Mereka menyusun jaringan penyampaian informasi bawah tanah melalui telepon, telegram sandi, pos, kurir dan radio.
Pemancar gelap pun mereka persiapkan. Secara hati-hati mereka memonitor situasi perang dari berita-berita dan dokumen-dokumen Jepang. Pihak Jepang bukannya tidak memperhitungkan kemungkinan terjadinya bahaya yang mengancamnya dari masyarakat Indonesia setelah di mana-mana terjadi kelaparan tetapi tidak sempat bereaksi karena pasukan Jepang makin terpukul di berbagai medan pertempuran. Tiba-tiba saja orang-orang Jepang memerintahkan membuat tanggul pengaman di sekeliling gedung Kantor Pusat PTT. Kios telepon umum di Kantor Pusat PTT diubah menjadi tempat mikrofon yang dihubungkan dengan pengeras suara guna mengumumkan segala macam perintah kepada para pegawai. Pidato propaganda sewaktu-waktu disiarkan melalui pengeras suara itu.
Dalam pada itu Tsusin Tokubetsutai berhasil mendatangkan pelatih dari pihak militer Jepang agar memberi pelajaran menggunakan senjata. Siasat jitu ini memungkinkan pemuda-pemuda anggota Barisan Istimewa PTT mampu menggunakan senjata dan mengetahui cara pasukan bergerak dalam pertempuran, baik bertahan maupun menyerang. Kemampuan bela diri pun diajarkan. Guna memudahkan penerimaan instruksi, pemuda Soeardi Tasrif’ yang pandai berbahasa Jepang ditugaskan menjadi penerjemah. Kelak Soeardi Tasrif menjadi seorang pengacara terkenal di Jakarta.
Di antara para anggota Tsusin Tokubetsutai yang paling giat melakukan hubungan dengan pemuka-pemuka gerakan nasional ialah Ismojo. Itulah sebabnya kata sandi yang dipergunakan sebagai titik awal merebut Kantor Pusat PTT dari tangan Jepang ialah “IS”, suku kata pertama dari nama Ismojo. la memang lebih Ieluasa berhubungan dengan pemimpin-pemimpin di luar kalangan PTT karena sering melakukan dinas luar. Pada pertengahan tahun 1945 setelah pasukan Sekutu berhasil melakukan loncatan katak, yaitu serangan balik pasukan Jenderal MacArthur yang menduduki pulau demi pulau sehingga berhasil mendekati kepulauan Jepang, kekalahan Jepang sudah terbayang.
Setelah bom atom Sekutu memporakporandakan kota Hiroshima tanggal 6 Agustus 1945, ketahanan militer Jepang boleh dikata sudah ambruk sama sekali. Begitu bom atom kedua meluluhlantakkan kota Nagasaki tanggal 9 Agustus 1945, semangat Jepang sudah sirna. Esok harinya Kaisar Hirohito menyatakan kekalahan Jepang dan menyerah tanpa syarat. Jepang masih berusaha menutupi kekalahannya dengan memperlambat penyebaran berita itu ke wilayah Asia. Tetapi para operator telepon dan telegrap PTT dapat mengetahui berita penyerahan itu karena pesawat-pesawat penerima di Bandung tidak disegel. Telegram resmi dari Tokyo akhirnya diterima di Bandung pada tanggal 13 Agustus 1945.
Pada waktu itu segera dikirim telegram kepada pernuda-pemuda Jakarta agar mereka mendesak pemimpin-pemimpin bangsa untuk mengumumkan kemerdekaan Indonesia. Jika kemerdekaan tidak segera diumumkan, Indonesia akan kehilangan momentum yang mungkin tidak akan ada lagi. Berhubung jawaban tidak diterima, tanggal 15 Agustus 1945 dikirim lagi telegram ke Jakarta disertai desakan yang lebih keras, yaitu jika Jakarta tidak mau mengambil keputusan penting itu maka Bandung akan bertindak. Kemerdekaan Indonesia pun diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Beritanya diteruskan melalui telepon. telegrap, radio dan pos ke semua kantor PTT secara beranting. Informasi dari Bandung yang diterima oleh kantor telegrap di Bukittinggi tanggal 16 Agustus menyatakan bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945 akan terjadi peristiwa penting karena itu operator di Bukittinggi supaya siap pada pesawatnya. Benar juga, keesokan harinya kantor telegrap Bukittinggi menerima berita proklamasi kemerdekaan Indonesia dan segera pula secara hari-hati meneruskannya ke kanior-kantor lain di Sumatera. Berita proklamasi kemerdekaan yang pertama-tama disiarkan ke luar negeri berasal dari Stasiun Radio Pemancar PTT di Dayeuhkolot pada tanggal 17 Agustus 1945 itu juga.
Betapa pentingnya alat komunikasi yang dapat menjangkau area yang luas terbukti ketika Presiden Soekarno hendak memerintahkan penghentian tembak menembak. Ketika itu perintah Presiden Soekarno yang sedang hijrah ke suatu tempat di sekitar Madiun dengan peralatan sebuah pesawat pemancar radio mobil PTT dapat dipancarkan dan diterima pesawat penerima di rumah kediaman Mas Soeharto di Yogyakarta dann juga direlay oleh semua studio RRI yang masih ada. Debngan peralatan yang terbatas namun dibalut oleh tekad semangat yang besar, Dinas Jawatan PTT dapat turut mem-back up perjuangan di berbagai front perjuangan, termasuk dalam menyebarluaskan rangkaian pidato yang sangat patriotik Bung Tomo dalam peristiwa 10 November 1945 yang disiarkan berulang-ulang oleh RRI. Di sini terbukti betapa pentingnya peranan telekomunikasi sebagai salah satu alat komunikasi yang dapat mengudara dan meniadakan batas maupun hambatan apapun. Dengan telekomunikasi, persatuan nasional Indonesia dapat terjaga di saat kondisi negara yang sedang tercerai berai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar